Sejarah dipelajari bukan sekedar untuk dihafal dan dikenang, melainkan dilestarikan, terutama hal-hal yang sifatnya positif.
Salah satu yang perlu dilestarikan adalah sapaan yang dulu biasa ditemukan pada masa revolusi kemerdekaan bangsa ini (bangsa Indonesia) yaitu 'bung'.
Di bawah ini adalah video yang menjelaskan tentang asal-usul sapaan "bung" dan maknanya :
Sekarang ini, dapat dikatakan sapaan 'bung' tidaklah populer, terutama di tengah-tengah masyarakat yang mengembangkan budaya feodalistik. Bahkan di tengah budaya feodalistik, panggilan 'bung' dianggap kurang sopan. Mereka lebih suka memanggil dengan sebutan 'kak', 'Mas', dan 'Bang'. Dan biar lebih kedengaran keren, mereka sering memanggilnya agak kebarat-baratan dengan sapaan 'bro'.
Ada 2 alasan utama mengapa perlu menghidupkan kembali dan mentradisikan panggilan 'bung', yaitu :
1. EGALITER
"Sapaan 'bung' memiliki makna yang egalitarian (kesetaraan). Bung Karno dan Bung Hatta dipanggil 'bung', tidak dipanggul dengan gelar yang lain, misalnya ingin dipanggil paduka yang mulia," kata Wakil Kepala BPIP, Prof. Hariyono dikutip dari detik.com, Senin (16/8).
"Sapaan 'bung' sudaha da sejak zaman pergerakan nasional sebelum merdeka. Itu adalah antitesis terhadap struktur ekonomi politik kolonial." kata Hariyono lebih lanjut.
Sapaan 'bung' mencoba menghancurkan kelas-kelas sosial yang dibangun sejak era feodalisme dan dilestarikan penguasa kolonial. Pancasila yang digali Bung Karno yang memuat sila 'Kemanusiaan yang Adil dan Beradab' dan 'Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia' itu bersifat egaliter.
Seiring dengan mulai semakin nampak lagi gejala feodalisme, maka sapaan 'bung' perlu dipopulerkan lagi supaya feodalisme tidak tumbuh subur.
Mempopulerkan panggilan 'bung' ini juga yang diinginkan oleh Megawati Soekarnoputri yang dinilainya bisa menghilangkan mental feodalisme yang gila hormat.
Seharusnya, di alam demokrasi saat ini, mental feodal harus hilang. Ini bukan negara monarki, melainkan negara republik. BPUPKI sudah memilih itu. Di alam republik, rakyat bukanlah 'kawula negara' seperti di alam kerajaan, namun rakyat adalah 'warga negara' yang setara. Sebelumnya, Megawati menyampaikan panggilan 'bung' bisa dipakai untuk menyapa orang tanoa memikirkan pangkat dan jabatan serta usia.
"Menurut saya, kita harus mempopulerkan menyebut 'bung', seperti tidak ada perbedaan," kata Megawati dalam peringatan HUT ke-119 Proklamator RI Mohammad Hatta yang digelar oleh Badan Nasional Kebudayaan Pusat (BNKP) PDIP secara virtual, Kamis (12/8).
2. REVOLUSIONER
Sebagaimana dijelaskan dalam video di atas, kata atau sapaan "bung" bersifat revolusioner yang maknanya kurang lebih adalah saudara serevolusi. Itulah mengapa panggilan "bung" sangat akrab pada masa revolusi kemerdekaan dulu.
Pertanyaannya, revolusi kemerdekaan memang sudah berakhir, tapi apakah semangat dan jiwa revolusiner juga harus berakhir ?
Jiwa revolusioner harus tetap ditumbuhkan karena kezaliman atau ketidakadilan pasti terus ada. Dan di tengah kezaliman dan ketidakadilan semakin tampak nyata dan besar, jiwa revolusioner ini harus dinyalakan atau dihidupkan kembali. Dan memang harus terus dihidupkan.
Dan salah satu upaya menghidupkannya adalah dengan kembali mempopulerkan sapaan "bung". Dalam bukunya Revolusi Indonesia Berdasarkan Adjaran Bung Karno, Achmad Notosoetardjo menuliskan bahwa penggunaan kata 'Bung' dipopulerkan oleh Bung Karno sendiri. Panggilan itu dipopulerkannya untuk panggilan kepada setiap insan Indonesia yang revolusioner dan memiliki cita-cita melenyapkan imperialisme-kolonialisme dan kapitalisme.
Dari cita-cita Bung Karno sendiri dapat dilihat bahwa penggunaan 'Bung' sendiri menjadi propaganda Bung Karno. Hal ini dapat dilihat ketika Bung Karno menginginkan lukisan dengan pesan propaganda yang membakar semangat para pemuda. Bung Karno ingin poster tersebut berisikan pesan sederhana dan kuat.
Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, Sukarno memilih Affandi sebagai pelukis untuk poster tersebut. Affandi ketika itu melukiskan tokoh pelukis Dullah. Tokoh Dullah digambarkan dengan menggenggam bendera merah putih dengan kedua tangan yang terikat rantai.
Melihat poster dengan lukisan yang sudah dibuat oleh Affandi, penyair Chairil Anwar memberi kata-kata pada poster tersebut, "Boeng, Ajo Boeng!". Poster tersebut menyebar ke berbagai penjuru Indonesia.
Kata 'Bung' memiliki kesamaan dengan sebutan 'Citizen' dalam Revolusi Perancis atau 'Kamerad' dalam Revolusi Rusia. Hal inilah yang membuat sapaan 'Bung' terdengar revolusioner dengan makna tambahan yaitu saudara serevolusi, saudara nasionalis Indonesia, dan saudara serepublik,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar