Senin, 17 Maret 2025

MELIHAT DARI PERSPEKTIF PANCASILA : MENYOAL RAPAT PEMBAHASAN RUU TNI DI HOTEL FAIRMONT, JAKARTA, PADA SABTU, 15 MARET 2025

MELIHAT DARI PERSPEKTIF PANCASILA : MENYOAL RAPAT PEMBAHASAN RUU DI HOTEL FAIRMONT, JAKARTA, PADA SABTU, 15 MARET 2025

Belakangan ini, media dan media sosial ramai menyoroti rapat pembahasan RUU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta pada Sabtu 15 Maret 2025 yang menuai aksi protes dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.

Koalisi Masyarakat Sipil menolak rapat pembahasan RUU TNI di Hotel Fairmont tersebut yang mensinyalir adanya upaya untuk mengembalikan Dwifungsi TNI atau yang dulu adalah dwifungsi ABRI.

Apa itu dwifungsi TNI ?

Dwifungsi TNI atau yang dulu adalah Dwi Fungsi ABRI adalah gagasan yang diterapkan oleh Pemerintahan Orde Baru yang menyebutkan bahwa Angkatan Bersenjata Republik Indonesia—terutama Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat—memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara, dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dwifungsi digunakan untuk membenarkan militer dalam meningkatkan pengaruhnya di pemerintahan Indonesia, termasuk melalui fraksi militer di parlemen (Faksi ABRI), dan berada di posisi teratas dalam pelayanan publik nasional secara permanen.

Melalui dwifungsi ABRI / TNI, tentara bisa masuk dalam semua jaring lapisan masyarakat Indonesia dan menduduki jabatan-jabatan strategis di lingkungan strategis pemerintahan.

Ada 2 hal yang ingin saya soroti tentang hal ini dengan menggunakan perspektif Pancasila melalui butir-butir nilai yang terkandung di dalamnya.

PERTAMA, tentang tempat penyelenggaraannya.

Penyelenggaraan rapat tersebut yang diselenggarakan di Hotel Fairmont yang tergolong Hotel Bintang Lima ini bertentangan dengan sila ke-5 butir ke-7 yang berbunyi "Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah."

Jika menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah saja dinilai bertentangan dengan Pancasila, apalagi jika menggunakan uang negara yang sebagian besar berasal dari rakyat.

Penyelenggaraan rapat tersebut yang diselenggarakan di Hotel Fairmont yang tergolong Hotel Bintang Lima ini bertentangan dengan sila ke-3 butir ke-1 yang berbunyi "Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan."

Di tengah negara sedang defisit anggaran, seharusnya mereka tidaklah melakukan rapat di Hotel Bintang Lima. Bahkan seandainya pun negara sedang surplus pun, mereka juga tetap tidak boleh menghabiskan anggaran negara dengan melakukan rapat di Hotel Bintang Lima.

Dalam hal ini, tindakan mereka juga tidak mencerminkan sila ke-3 butir ke-2 yang berbunyi "Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan."

Lalu di mana letak kesanggupan dan kerelaan berkorban mereka yang tengah merumuskan RUU TNI di Hotel Fairmont tersebut ?

Mereka seperti tidak ada empati dan tidak peduli dengan kondisi keuangan yang sedang defisit, bahkan tidak ada empati dan tidak peduli dengan kondisi sosial masyarakat di mana angka kemiskinan dan angka pengangguran yang sedang meningkat.

Ini artinya sikap mereka bertentangan dengan sila ke-2 butir ke-4 yang berbunyi "Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira."

Dengan segala pertimbangan di atas, masih yakinkah Anda bahwa mereka-mereka ini benar-benar sedang membahas sesuatu demi kepentingan bangsa atau rakyat ?


KEDUA, tentang yang dibahas.

Jika benar bahwasannya yang sedang dibahas dan dirumuskan adalah dwifungsi TNI atau berusaha mengembalikan posisi TNI seperti pada zaman Orde Baru, ini artinya TNI berada dalam posisi teratas dalam pelayanan publik nasional secara permanen.

Ini artinya melanggar prinsip kesetaraan yang dijunjung tinggi dalam Pancasila sebagaimana tertuang dalam sila ke-2 butir ke-2 dan sila ke-4 butir ke-1.

Jika memang ada itikad baik sebagaimana tertuang dalam sila ke-4 butir ke-6 yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan sebagaimana tertuang dalam sila ke-4 butir ke-7 serta dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur, mengapa rapat pembahasan RUU TNI ini dilakukan saat bulan puasa dan ditargetkan telah selesai sebelum reses atau masa libur kerja yang panjang (libur lebaran atau Hari Raya Idul Fitri) ?


KETIGA, tentang sikap mereka terhadap kelompok-kelompok yeng memprotes rapat yang membahas RUU TNI tersebut.

Dengan atas  nama mengganggu rapat, mereka melakukan tindak kekerasan terhadap aksi protes dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.

Hal ini jelas menunjukkan bahwa sikap mereka bertentangan dengan sila ke-2 butir ke-3 yang berbunyi "Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia", sila ke-2 butir ke-5 yang berbunyi "Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain", dan juga bertentangan dengan sila ke-2 butir ke-6 yang berbunyi "Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan."

Sila ke-2 "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" yang disimbolkan dengan rantai yang seharusnya dimaknai hubungan yang erat dan kokoh di antara elemen bangsa dari berbagai kalangan menjadi seperti rantai yang membelenggu rakyat yang hendak bersuara dan memperjuangkan kebebasan dan keadilan di mana ini sesuai dengan sila ke-2 butir ke-8 yang berbunyi "Berani membela kebenaran dan keadilan."

Alih-alih berusaha mengembangkan sikap berani membela kebenaran dan keadilan yang tertuang dalam sila ke-2 butir ke-8 ini, pemerintah dan aparatnya berusaha membungkam keberanian orang-orang yang berani membela kebenaran dan keadilan. Dan jika RUU TNI ini mengembalikan dwifungsi TNI seperti pada zaman Orde Baru bahkan mungkin lebih buruk lagi, maka nampaknya suara orang-orang yang berani membela kebenaran dan keadilan ini akan lebih dibungkam lagi karena pemerintah dan aparatnya telah memperoleh legitimasi atau membenarkan tindakan pembungkamannya tersebut dengan atas nama menegakkan undang-undang.


PENUTUP

Sebagai penutup, saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan berdoa "Ya Allah, siapa saja yang bermaksud buruk pada negeri dan bangsa ini maka tahanlah dia. Dan siapa saja yang memperdaya negeri dan bangsa ini maka gagalkanlah dia. Jadikanlah bangsa ini yang paling baik nasibnya. Lindungi negeri dan bangsa ini dari kejahatan orang-orang yang hendak berniat jahat kepada negeri dan bangsa ini. Aamiin. Allahumma shali 'ala Muhammad wa aali Muhammad."


Salam Pancasila,


Max Hendrian Sahuleka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  • SHARE